- EN
- ID
Pembangunan perkebunan sawit berkelanjutan di Indonesia kini memasuki babak baru, seiring dengan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No 44 Tahun 2020 tentang ISPO ( Indonesia Sustainable Palm Oil). Terlepas dari berbagai kritik dari kalangan LSM tentang lemahnya komitmen terladap isu HAM dan deforestasi, “ISPO Baru” ini adalah penegasan (kembali) tekad pemerintah Indonesia untuk mewujudkan pembangunan perkebunan sawit berkelanjutan.
Saat ini, pemerintah sedang berupaya keras untuk menyelesaikan aturan – aturan pelaksanaan Perpres tersebut, untuk memastikan “ISPO Baru” segera berjalan. Satu hal yang menjadi diskusi hangat di kalangan perkelapasawitan adalah cakupan “ISPO Baru” ini, yaitu mewajibkannya bagi semua pelaku usaha perkebunan, baik perusahaan, atau pekebun. Meskipun, untuk pekebun, pemberlakuannya diberi tenggang waktu lima tahun, sampai dengan 2025. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: apakah pekebun swadaya akan dapat memenuhi prasyarat ISPO dengan berbagai tantangan yang dimiliki?
Kesiapan pekebun swadaya
Kebun-kebun sawit swadaya berhadapan dengan kompleksitas persoalan legalitas lahan yang tidak mudah untuk diselesaikan. Sekitar 36 persen lebih dari total luas kebun sawit swadaya beroperasi secara illegal, karena berada di dalam kawasan hutan. Sementara itu, sisanya, sekitar 64 persen kebun-kebun lain yang berada di luar kawasan hutan, juga belum sepenuhnya bisa dikatakan legal, karena tidak terjamin kesesuaiannya dengan tata ruang yang berlaku, dan tidak terjamin pula kalau kebun itu bebas dari konflik dan tumpang susun dengan penggunaan lain (Auriga, 2019; Bakhtiar et al, 2019). Rata-rata kebun terebut juga tidak didukung dengan dokumen kepemilikan lahan yang memadai, seperti Sertifikat Hak Milik (SHM) (Jelsma et al, 2017).
Berangkat dari hal itu, kita bisa mendapatkan gambaran bahwa tingkat kesiapan para pekebun sawit swadaya untuk terlibat dalam sistem sertifikasi ISPO sangat rendah. Membayangkan ISPO akan bisa diberlakukan pada semua kebun sawit, termasuk kebun sawit swadaya yang total luasnya mencapai kurang lebih 1,9 juta hektar (AURIGA, 2019), akan sangat berat, kecuali disertai dengan program penataan yang terstruktur, sistematis, dan masif untuk para pekebun, utamanya pekebun sawit swadaya.
Momentum penataan legalitas lahan
Tekad pemerintah untuk mendorong penataan lahan masyarakat, dalam beberapa tahun terakhir sebenarnya mengalami eskalasi yang cukup signifikan. Melalui program Reforma Agraria (RA) dan Perhutanan Sosial (PS), pemerintah telah berusaha membangun tulang punggung kerangka penataan lahan masyarakat, di dalam maupun di luar kawasan hutan.
Sayangnya, sejauh ini upaya tersebut belum membuahkan hasil yang memadai. Perpres 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penggunaan Tanah di Kawasan Hutan, maupun Permen LHK 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, pada kenyataannya sama-sama tidak bisa memberikan jaminan bagi penyelesaian sawit swadaya di dalam kawasan hutan.
Penerbitan Inpres 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit, dan INPRES 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan juga belum menunjukkan hasil bagi penyelesaian masalah ini.
Segenap kementerian membangun tafsir bahwa Perpres 88 Tahun 2017 tidak dirancang untuk kebun sawit rakyat di kawasan hutan. Seperti yang disebutkan dalam peraturan tersebut, bentuk – bentuk penggunaan lahan yang akan diselesaikan adalah pemukiman, lahan fasilitas umum atau fasilitas sosial, sawah, dan kebun campuran.
Sementara itu, penyelesaian kebun-kebun sawit swadaya melalui Perhutanan Sosial juga tidak menjanjikan keberlanjutan usaha para pekebun. Batasan waktu selama 12 tahun terhitung sejak tahun tanam (pasal 55 Permen LHK 83/2016) memberikan rambu bahwa para pekebun swadaya akan segera kehilangan aset sawitnya, bahkan pada masa puncak produktivitasnya.
Kini kebijakan ISPO kembali hadir dengan format dan semangat baru dalam hal pengelolaan perkebunan sawit berkelanjutan, di mana di dalamnya penataan legalitas lahan adalah salah satu prinsip penting yang harus dipenuhi. Sudah seharusnya kehadiran ISPO bisa memberikan harapan baru bagi penyelesaian legalitas lahan kebun-kebun sawit swadaya yang selama ini mandeg.
Berangkat dari segenap persoalan tersebut, peluang terbesar penataan legalitas lahan harus dimulai dari kebun-kebun sawit swadaya yang berada di luar kawasan hutan. Kebun-kebun semacam ini secara nasional luasnya mencapai 1,2 juta hektar, kira-kira 70 persen dari luas total kebun sawit swadaya yang ada di Indonesia (AURIGA, 2019). Sebagian besar kebun-kebun sawit swadaya tersebut pada umumnya tidak ditopang dengan bukti pemilikan lahan yang memadai, dalam hal ini Sertifikat Hak Milik (SHM). Bukti kepemilikan kebun rata-rata hanya berupa Surat Keterangan Tanah (SKT). Belum lagi legalitas usaha, yang harus ditunjukkan dengan Surat Tanda Daftar Budidaya (STD-B). Kurang dari 1 persen dari kebun–kebun swadaya tersebut yang telah didaftar oleh pemerintah kabupaten, seperti amanat Permentan 98 Tahun 2013 Jo. Permentan Nomor 21 Tahun 2017 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Berangkat dari situasi tersebut, implementasi PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap) dan pemetaan serta pendaftaran sawit rakyat swadaya di luar kawasan hutan dapat menjadi langkah awal bagi implementasi “ISPO Baru” untuk kebun sawit swadaya. Dengan demikian, implementasi “ISPO Baru”diharapkan akan menjadi momentum dimulainya era baru penataan legalitas kebun-kebun sawit swadaya, dari sporadis menjadi sistematis; dari yang tidak terkonsolidasi menjadi terkonsolidasi. Upaya-upaya semacam itu perlu segera dimulai dan diarusutamakan, setidaknya dalam masa tenggang lima tahun yang disediakan untuk para pekebun.
Harmonisasi peraturan dan perundangan PERPRES 44 Tahun 2020 harus dijadikan momentum untuk penataan kebun sawit swadaya dengan fokus utama adalah legalitas lahan. Tanpa itu, sistem sertifikasi ISPO hanya akan jadi sekumpulan peraturan perundangan yang tidak implementatif dan tidak menjadi solusi dalam penataan kebun sawit swadaya di Indonesia. Bahkan, bisa menambah sengkarut kebijakan dan regulasi, seperti regulasi-regulasi sebelumnya. Untuk menghindari sengkarut semacam itu, maka harmonisasi dan reformasi kebijakan perlu menjadi arus utama dalam peta jalan penataan legalitas lahan kebun-kebun sawit swadaya. Berikut ini adalah beberapa komponen yang dipandang mendesak untuk dilakukan: 1. Prinsip dan kriteria ISPO terkait dengan legalitas lahan harus mengacu pada kondisi dan fakta lapangan yang ada saat ini. Oleh karena itu, Kriteria dan Indikator ISPO harus memberikan ruang bagi syarat legalitas lahan berupa SKT/girik/bukti jual-beli lahan/bukti sewa lahan/dokumen lahan tradisional lainnya yang diakui oleh pranata sosial yang ada di masyarakat. Termasuk, kesepakatan terhadap izin perhutanan sosial sebagai syarat legalitas bagi kebun sawit yang masuk ke dalam skema perhutanan sosial. 2. Pemerintah perlu mempercepat pendataan, pemetaan dan penerbitan STD-B kebun sawit swadaya. Dengan data dan peta, pemerintah bisa merancang program peningkatan legalitas lahan, penerbitan STD-B dan penyelesaian status lahan/kebun sawit swadaya dalam kawasan hutan. Oleh karena itu, BAPPENAS perlu merancang program dan pembiayaan terkait pendataan, pemetaan, penerbitan STD-B dan peningkatan legalitas lahan kebun sawit swadaya selama 2021-2025, sebagai upaya menuju sistem sertifikasi ISPO bagi kebun sawit swadaya. 3. Pemerintah perlu melakukan harmonisasi regulasi terkait pendefinisian batas maksimal kebun sawit swadaya, persyaratan legalitas dan penyelesaian status lahan. Kebijakan ini penting agar tumpang tindih regulasi tidak terjadi, sehingga ada kepastian hukum. Selain itu, ada sekitar 713 ribu hektar kebun sawit swadaya yang ada dalam kawasan hutan, yang harus segera diselesaikan status lahannya.
Oleh Irfan Bakhtiar, Direktur SPOS Indonesia