- EN
- ID
(Jakarta / Glasgow_COP 26 UNFCCC, Pavilion Indonesia) - Kelapa sawit adalah salah satu komoditas strategis nasional yang telah berkontribusi pada pendapatan nasional terbesar diluar sektor pariwisata, minyak, dan gas. Bernilai sekitar $23 miliar, yang berarti setara dengan 16% dari total nilai ekspor nasional. Di sisi lain, massifnya produksi memicu perluasan/ekspansi lahan yang relatif mendegradasi hutan. Sehingga kebun sawit monokultur di dalam kawasan hutan dianggap menganggu kepentingan ekologi dan mengancam keseimbangan ekosistem. Untuk meminimalisir dampak lingkungan, sosial dan ekonomi dari ekspansi kebun sawit monokultur yang sudah terlanjur berada di dalam kawasan hutan tersebut perlu penyelesaian melalui strategi yang komprehensif. Salah satu konsep penyelesaian yang diperkenalkan adalah Strategi Jangka Benah. Skema ini telah diterapkan dibeberapa kawasan hutan yang telah mengalami ekspansi kebun kelapa sawit monokultur, salah satunya di Kabupaten Kotawaringin, Kalimantan Tengah. Kalimantan Tengah merupakan salah satu Provinsi dengan potensi kelapa sawit yang besar. Berdasarkan data, luas wilayah pada tahun 2019 mempunyai potensi kelapa sawit sekitar 1,7 juta Ha atau sekitar 11,64% dari total luas Provinsi Kalimantan Tengah. Dan dari 1,7 juta Ha kelapa sawit yang ada, terindikasi ada 892.000 hektar berada di dalam kawasan hutan.
Selasa (9/11) di Manggala Wanabakti, Jakarta, Hari ke-7 rangkaian Agenda Pavillion Indonesia COP 26 UNFCCC, Program SPOS Indonesia Yayasan KEHATI berpartisipasi pada sesi Talk Show bertajuk “Jangka Benah Strategy”, An Initiative for Resolution of Palm Oil in Forest Area (Case Work Central Kalimantan). Pada kesempata ini Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dr. Ir. Bambang Supriyanto, M.Sc menyampaikan Strategi Jangka Benah sudah tertuang dalam PP No.23/2021 dan dijabarkan ditingkat operasional melalui permen LHK no.9/2021 pada April 2021 kemarin. Ini menjadi solusi bersama bagi kebun sawit yang sudah terlanjur berada dikawasan hutan (baik perusahaan swasta maupun sawit rakyat). Di sisi lain pemerintah berusaha memulihkan hutan melalui Strategi Jangka Benah, sementara bagi pekebun sawit rakyat masih bisa memaneh sawitnya sambil mempraktikan teknis Jangka Benah melalui variasi tegakan. Tentunya dengan mekanisme seperti yang telah diatur pada Permen LHK no.24/2021. Izin yang keluar, nantinya adalah perizinan Perhutanan Sosial (PS) dengan keharusan mengimplementasikan Skema Jangka Benah didalamnya. Menurut beliau, Salah satu syarat untuk menetukan jenis tegakan nantinya akan dilihat terkait fungsi hutan, apakah hutan produksi atau hutan lindung. Sekolah lapang Jangka Benah yang diinisiasi UGM dan Yayasan KEHATI sangat membantu sekali dalam implementasi kebijakan ini. Untuk selanjutnya agar apa yang sudah dilakukan di Kalimantan Tengah dan Jambi bisa dijadikan tolak ukur atau contoh penerapan konsep Jangka Benah di lokasi lain. Selain itu, Perhutanan Sosial sendiri merupakan program nasional, melalui pokja PS yang merupakan kolaborasi lintas kementerian, Kementerian Pertanian, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, juga Kementerian Dalam Negerti. Kemitraan ini juga melibatkan akademisi dan masyarakat sipil, juga koordinasi dengan pemerintah daerah baik Gubernur maupun Bupati untuk memastikan Perhutanan Sosial masuk APBD sebagai salah satu rencana pembangunan jangka panjang.
Secara teknis pelaksanaannya, Dr. Hero Marhaento. S.Hut., M.Si dalam kesempatan yang sama memaparkan bahwa, Jangka Benah bukanlah konsep baru. Jangka Benah merupakan periode yang diperlukan untuk memperbaiki struktur dan fungsi ekologis kawasan hutan yang terganggu akibat ekspansi kelapa sawit monokultur. Yang tadinya kawasan hutan setelah perluasan kelapa sawit, semua vegetasi struktural dan juga fungsi ekologisnya menjadi berkurang. Tahapan pertama dalam Jangka Benah adalah pengayaan monokultur kelapa sawit, dengan pohon hutan melalui sistem agroforestri. Hal ini juga dapat memperbaiki struktur hutan; keanekaragaman hayati; penyerapan karbon dan fungsi ekosistem (hidrologi). Ada 3 indikator keberhasilan praktik jangka Benah. Pertama, berjalannya praktik OPAF (Oil Palm Argo Forestry). Kedua, Dukungan kebijakan dari pemerintah dan ketiga, dukungan teknis untuk penguatan dan pemberdayaan kelembagaan. Dalam penerapan Jangka Benah Dr. Hero Marhaento. S.Hut., M.Si juga menyampaikan saat ini bersama timnya sedang mendampingi 2 pilot project di Jambi dan Kalimantan Tengah. Pada demplot-demplot pendampingan dipraktikan bagaimana pola tanaman, baris alternatif tegakan, juga pengayaan pohon di batas-batas demplot. Terkait jenis tegakan, pendamping hanya memberikan saran mana tanaman yang baik mana yang tidak. Monitoring dan evaluasi juga dilakukan untuk mengetahui kemajuan demi kemajuan dalam tahapan periode. Untuk peningkatan kapasitas lembaga yang didampingi juga diadakan Sekolah Tani Jangka Benah berkolaborasi dengan BPDAS Kahayan yang disupport Program SPOS Indonesia Yayasan KEHATI.
Bagian tersulit dari semua proses ini adalah mengajak para petani bergabung mengimplementasikan skema Jangka Benah tanpa bayang-bayang untung rugi. Mengingat harga kelapa sawit saat ini sedang bagus tentunya ini menjadi tantangan tersendiri. Dalam kesempatan ini Irfan Bakhtiar, Direktur Program SPOS Indonesia Yayasan KEHATI menyampaikan pentingnya memberikan kesadaran bagi para petani untuk tidak semata-mata bersandar pada motif ekonomi. Mereka perlu disadarkan bahwa selama ini usaha mereka yang berada dalam kawasan hutan adalah ilegal, mereka membutuhkan dukungan legalitas. Apalagi terkait penerapan wajib ISPO 2025 untuk semua perkebunan sawit, tanpa legalitas produksi sawit mereka tidak akan memiliki sertifikasi yang berarti akan sulit memasarkan walaupun produksi dan kualitasnya bagus. Selain itu tantangan lainya adalah implementasi kebijakan yang sudah ada. Data SPOS Indonesia menyebutkan ada 700.000 hektar lahan kelapa sawit di dalam kawasan hutan yang sangat sulit untuk mengidentifikasinya. Verifikasi lahan walau di atas kertas tampaknya mudah tapi pengecekan dilapangan seringkali sulit diimplementasikan. Melalui Program SPOS Indonesia, Irfan Bakhtiar juga menyampaikan Yayasan KEHATI telah memfasilitasi berbagai program pendampingan demi perbaikan tata kelola sawit berkelanjutan di Indonesia. Termasuk mendukung strategi Jangka benah dalam upaya penyelesaian kebun sawit didalam kawasan hutan. Menurutnya, dengan kebijakan yang sudah ada saat ini Skema Jangka Benah telah berhasil melalui tahap pertama, tahap selanjutnya adalah tahap yang lebih menantang. Tahap yang perlu kerja keras semua pihak untuk mengimplementasikan secara sungguh-sungguh dilapangan.
Upaya baik tentang tata kelola sawit berkelanjutan melalui Strategi Jangka Benah ini perlu disebarluaskan ke berbagai pihak dan pemangku kepentingan, baik di dalam negeri maupun internasional. Momentum COP 26 UNFCCC ini menjadi salah satu momentum tepat untuk ikut berbagi komitmen menyukseskan target penurunan emisi dari sektor kehutanan.