Perpres No.44 Tahun 2020, Momentum Perbaikan Tata Kelola Kelapa Sawit: Langkah Menelisik Titik Titik Hitam Bisnis Sawit

Perpres No.44 Tahun 2020, Momentum Perbaikan Tata Kelola Kelapa Sawit: Langkah Menelisik Titik Titik Hitam Bisnis Sawit
23 Maret 2020

Setelah melalui serangkaian proses yang panjang, Presiden RI telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia, selanjutnya disebut Perpres tentang Sistem Sertifikasi ISPO, pada tanggal 13 Maret 2020 dan telah diundangkan pada tanggal 16 Maret 2020.

Perpres ini diterbitkan dengan beberapa dasar pertimbangan pada persoalan-persoalan terkait penyerapan tenaga kerja yang cukup besar dan untuk lebih memastikan usaha perkebunan kelapa sawit yang layak secara sosial, ekonomi dan lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, perlu dilakukan penyempurnaan dalam penyelenggaraan Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Peraturan perundang-undangan, di bawah Menteri Pertanian, yang mengatur mengenai Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia, sudah tidak sesuai dengan perkembangan Internasional dan kebutuhan hukum sehingga perlu diganti dan diatur kembali dalam Peraturan Presiden.

Perjalanan panjang dari Penyusunan Rancangan Perpres ISPO, adalah saat prosesnya terjegal oleh Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indo (APKASINDO), yang dengan gigih melakukan lobi kepada DPR RI dan Presiden, untuk menolak rencana Pemerintah yang ingin menerapkan aturan ISPO yang mewajibkan petani kelapa sawit harus bersertifikat. Penolakan itu dilakukan lantaran aturan sertifikasi ISPO dapat merugikan petani sawit. Penolakan tersebut dilandasi bahwa masih banyak kendala yang dihadapi petani dalam memperoleh sertifikasi, termasuk misalnya masalah legalitas lahan mereka, kemampuan sumber daya manusianya yang masih terbatas serta sistim budidaya yang tidak jelas. Hal ini ditengarai banyaknya lahan petani kelapa sawit yang tumpang tindih dengan kawasan hutan. ISPO mensyaratkan bahwa lahan tidak boleh berada di kawasan hutan sementara data APKASINDO sendiri menunjukkan sekitar 54 persen kebun kelapa sawit swadaya masih terindikasi berada dalam kawasan hutan yang seharusnya tidak boleh digunakan untuk budidaya.

Sehingga beberapa critical issue yang ingin dijawab oleh Perpres Sistem Sertifikasi ISPO, meliputi, pertama, memperbaiki tata kelola Sertifikasi ISPO dengan membuka ruang partisipasi, akuntabilitas, dan transparansi. Kedua, menata ulang kelembagaan Komisi ISPO dari sisi keanggotaan, tugas, fungsi, dan integritas. Ketiga, meletakkan fungsi Komite Akreditasi Nasional (KAN) dalam sistem Sertifikasi ISPO. Keempat, menyempurnakan standar dan persyaratan sertifikasi ISPO. Kelima, meningkatkan perhatian terhadap persoalan deforestasi, konversi lahan gambut, dan emisi gas rumah kaca. Keenam, membangun mekanisme pemantauan independen yang lebih kredibel. Materi muatan dalam Perpres ini terbagi dalam VII Bab dan 30 Pasal yang mengatur perihal Sertifikasi ISPO; kelembagaan; keberterimaan, daya saing pasar, dan peran serta masyarakat; pembinaan dan pengawasan; serta sanksi.

Lalu, menurut Pasal 3 Perpres ini bahwa penyelenggaraan sistem Sertifikasi ISPO bertujuan untuk: a. memastikan dan meningkatkan pengelolaan serta pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit sesuai prinsip dan kriteria ISPO; b. meningkatkan keberterimaan dan daya saing Hasil Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia di pasar nasional dan internasional; dan c. meningkatkan upaya percepatan penurunan emisi gas rumah kaca.

Adapun beberapa pengaturan baru dan krusial dalam Sistem Sertifikasi ISPO yang diatur dalam Perpres ini, antara lain, penerapan Sistem Sertifikasi ISPO dilakukan secara wajib/mandatory baik bagi perusahaan maupun pekebun, meskipun bagi pekebun baru diberlakukan 5 tahun sejak Perpres ini diundangkan; mekanisme pengambilan keputusan Sertifikasi ISPO diterapkan dengan lebih akuntabel, transparan dan memenuhi Standar Sistem Sertifikasi Internasional; adanya reformulasi prinsip dan kriteria ISPO; pendanaan Sertifikasi ISPO, khususnya bagi pekebun; kelembagaan dalam Sertifikasi ISPO yang terdiri dari Dewan Pengarah, Komite ISPO, Komite Akreditasi Nasional, Lembaga Sertifikasi ISPO dan Pelaku Usaha Perkebunan Kelapa Sawit; peran Pemerintah beserta pemangku kepentingan dalam meningkatkan keberterimaan pasar secara nasional dan internasional; peran serta masyarakat, pelaku usaha dan pemangku kepentingan dalam pengelolaan dan penyelenggaraan Sertifikasi ISPO, salah satunya melalui keterlibatan Pemantau Independen sebagai salah satu unsur di dalam Komite ISPO; dan pembinaan bagi pekebun dalam penyiapan dan pemenuhan prinsip dan kriteria ISPO.

Perpres ini juga memuat ketentuan peralihan bahwa meskipun berlaku sejak diundangkan, namun Sertifikat ISPO yang telah diterbitkan sebelumnya dinyatakan tetap berlaku dengan beberapa ketentuan. Dan yang tidak kalah pentingnya, peraturan pelaksanaan dari Perpres ini, dalam bentuk Peraturan Menteri Pertanian, harus ditetapkan paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Perpres ini diundangkan.

Dengan demikian, melalui pengundangan Perpres tentang Sistem Sertifikasi ISPO ini diharapkan dapat menjawab segala pertanyaan, tantangan dan tuntutan dalam pembangunan kelapa sawit Indonesia yang berkelanjutan sehingga lebih berkepastian hokum, berkeadilan dan bermanfaat. Yang pada akhirnya sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD RI dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya.

Momentum ini harus menjadi penggerak perbaikan.

Oleh: Diah Y. Suradiredja, Senior Advisor SPOS Indonesia 

Perpres No.44 Tahun 2020 dapat diunduh melalui: https://jdih.setkab.go.id/

Categories: