Uni Eropa Atur Komoditas Impor Mencegah Deforestasi

Uni Eropa Atur Komoditas Impor Mencegah Deforestasi
22 Juli 2022

Uni Eropa akan selektif menerima barang impor untuk mencegah deforestasi. Apa saja dampaknya buat Indonesia?

UNI Eropa akan makin selektif menerima barang dari negara lain. Mereka akan menolak komoditas yang terkait dengan deforestasi. Proposal aturannya sudah diajukan setahun lalu. Sebagai kawasan ketiga penerima ekspor Indonesia—selain negara ASEAN dan Tiongkok—kita perlu tahu apa saja batasan-batasan dan larangan produk yang ditolak di sana.

Selain Uni Eropa, tahun lalu pemerintah Inggris juga sudah mengajukan Rancangan Undang-Undang Lingkungan ke parlemen, yang juga mencakup ketentuan khusus uji tuntas komoditas yang memberikan risiko terhadap hutan.

Uni Eropa adalah kawasan beranggotakan 27 negara dengan total populasi 517 juta jiwa. Pada 2021, meski pandemi Covid-19, nilai ekspor Indonesia ke Uni Eropa melonjak 26% mencapai 16,5 miliar Euro. Lonjakan itu, antara lain, didorong kenaikan harga komoditas, seperti sawit. Ekspor sawit ke negara-negara Uni Eropa tumbuh 9%.

Menurut Kementerian Perdagangan, Indonesia menempati peringkat ke-22 sebagai pemasok bahan pangan untuk skala global, dengan market share ekspor 1,05% atau senilai US$ 6,48 miliar. Jenis produk atau makanan dari Indonesia yang banyak diminati pasar global adalah produk tembakau (rokok), produk-produk ikan tuna, udang, produk kopi, makanan siap saji, kepiting, makanan ringan (waffle dan wafer), pasta, biskuit manis, serta produk olahan rumput laut dan tumbuhan alga lainnya.

Untuk pasar Uni Eropa, produk-produk makanan dari Indonesia paling banyak dikirim ke Belanda (US$ 34,84 juta), Italia (US$ 26,74 juta), Jerman (US$ 26,32 juta), Belgia (US$ 24,92 juta), Inggris (US$ 21,11 juta), Rusia (US$ 17,98 juta), Spanyol (US$ 11,95 juta), Prancis (US$ 6,60 juta), Turki (US$ 5,91 juta), dan Portugal (US$ 5,86 juta). Produk makanan Indonesia yang paling diminati pasar Uni Eropa adalah olahan tuna, tembakau, olahan nanas, produk kelapa, udang, makanan siap saji, rokok, pengental makanan dari olahan sayur, dan teh hitam.

Komisi Uni Eropa membuat proposal mencegah komoditas yang terkait deforestasi pada 17 November 2021. Proposal ini memberi justifikasi bahwa pendorong utama deforestasi dan degradasi hutan adalah perluasan lahan pertanian, yang terkait dengan produksi pangan. Karena itu Uni Eropa hendak memastikan rantai pasok komoditas pangan bebas deforestasi.

Pada 28 Juni 2022, Dewan Uni Eropa menyatakan setuju terkait aturan baru itu. Dewan menyatakan akan mengadopsi posisi negosiasinya (pendekatan umum) sebagai langkah maju yang besar mencegah krisis iklim dan melindungi keanekaragaman hayati.

Ada sejumlah regulasi Uni Eropa yang diusulkan bisa berdampak pada komoditas Indonesia yang diekspor ke sana:

  • Undang-undang energi/lingkungan terbarukan (renewable energy/environment legislation), seperti Arahan Energi Terbarukan (Renewable Energy Directive) II yang menghapuskan biofuel sebagai pendorong perubahan penggunaan lahan berdampak tinggi (seperti minyak sawit) pada 2030 .
  • Uji tuntas wajib (mandatory due diligence). Misalnya, Undang-undang Kewaspadaan Prancis menjadi satu-satunya peraturan operasional yang mencakup uji tuntas risiko deforestasi komoditas hutan di bawah kewenangannya yang luas.
  • Pelaporan dan pengungkapan wajib (mandatory reporting and disclosure). Misalnya, Prancis akan mewajibkan lembaga keuangan untuk mengungkapkan risiko keanekaragaman hayati.

Ada juga langkah-langkah nonregulasi mencakup pendekatan sukarela, seperti:

  • Pelaporan dan pengungkapan (reporting and disclosure). Misalnya, gugus tugas pengungkapan terkait alam (Task Force for Nature Related Disclosures)—inisiatif pasar yang akan mengembangkan kerangka kerja bagi keuangan dan perusahaan untuk melaporkan risiko terkait alam.
  • Standar dan label (standards and labels). Misalnya, Label Donau Soja dan Eropa Soya: persetujuan skema sertifikasi sukarela (misalnya pelabelan biofuel, arahan energi terbarukan Uni Eropa).
  • Transparansi (transparency). Misalnya, platform di seluruh Uni Eropa (titik akses tunggal Eropa) untuk memberi investor akses tanpa batas terhadap informasi perusahaan terkait keuangan dan keberlanjutan di bawah Rencana Aksi Pasar Modal Uni Eropa.
  • Dialog pemangku kepentingan (stakeholder dialogues). Misalnya, Amsterdam Declaration Partnership (ADP); COP 26 mengadakan dialog Forestry, Agriculture and Commodities Trade (FACT).
  • Perjanjian perdagangan (trade agreements). Misalnya, dalam perjanjian perdagangan bebas Indonesia-EFTA, Swiss memberikan pengurangan tarif untuk kuota impor minyak sawit jika memenuhi kriteria keberlanjutan (kemungkinan dijamin melalui sertifikasi).
  • Kriteria pengadaan publik hijau (green public procurement criteria). Misalnya, Undang-Undang Iklim dan Ketahanan Prancis yang mencakup pilihan vegetarian wajib dan kriteria pengadaan publik yang mengurangi permintaan pakan dan mendorong sumber daya lokal.

Pedoman kriteria

Apa saja komoditas ekspor dari Indonesia yang berpotensi terkena dampak dari kebijakan Uni Eropa mencegah deforestasi? Jawabannya ada pada empat cakupan regulasi dari sisi permintaan:

  • Komoditas yang dicakup: kedelai, minyak sawit, kayu, daging sapi, kakao, dan kopi & beberapa produk turunan (misalnya kulit, cokelat, furnitur). Dasarnya penilaian dampak produk mana yang benar-benar berkontribusi terhadap deforestasi
  • Tidak ada diskriminasi: berlaku sama untuk produk yang diproduksi di Uni Eropa dan diimpor dari luar negara-negara anggotanya.
  • Cakupan progresif: produk yang dicakup akan diperluas seiring waktu.
  • Tanggal batas (cut-off date) 31 Desember 2020: tidak ada komoditas yang diizinkan memasuki pasar Uni Eropa jika diproduksi di lahan yang mengalami deforestasi setelah tanggal tersebut. Hal ini sejalan dengan komitmen tujuan pembangunan berkelanjutan.

Di tingkat negara yang berisiko terfragmentasi, kita harus jeli melihat cakupan tersebut karena jarangnya undang-undang konkret terkait lingkungan muncul di tingkat Eropa.

Tampaknya Uni Eropa melihat dan belajar dari kegagalan perusahaan dan pemerintah memenuhi komitmen deforestasi sukarela hingga saat ini. Bahkan Koalisi Eropa untuk Keadilan Perusahaan (European Coalition for Corporate Justice–ECCJ), mencatat bahwa RUU Lingkungan Inggris khusus berfokus pada komoditas berisiko hilangnya hutan dengan mayoritas menekankan perlindungan hak asasi manusia dan/atau kerusakan lingkungan secara lebih luas. Sementara Undang-Undang Kewaspadaan Prancis menjadi satu-satunya peraturan operasional yang mensyaratkan uji tuntas risiko deforestasi komoditas hutan, tetapi hanya dalam keadaan terbatas dan hanya untuk kategori terbatas pelaku korporasi.

Dari catatan tentang perkembangan regulasi Uni Eropa, ada beberapa kunci yang harus dipikirkan pemerintah Indonesia sebagai langkah mitigasi risiko atau strategi untuk melindungi komoditas-komoditas yang diproduksi petani yang berorientasi ekspor, yaitu:

Regulasi. Aturan yang dibangun Uni eropa bertujuan meningkatkan perdagangan produk dari rantai pasokan “bebas deforestasi (free deforestation)”, akan menciptakan standar-standar baru yang memberatkan dunia usaha. Yang harus dipikirkan Pemerintah Indonesia adalah (a) mendefinisikan “free deforestation” sebagai kesepakatan bersama antara Uni Eropa dengan Indonesia melalui cut-off date yang disepakati; (b) Sistem Ketelusuran Rantai Pasok harus berada di Indonesia berupa platform lintas sektor dengan memastikan komoditas strategis yang berorientasi ekspor.

Dampak. Komisi Uni Eropa akan memastikan dampak yang sama pada pemasok dan rantai pasokan di Eropa dan di negara-negara mitra. Bagaimana posisi Indonesia dan apa yang harus disiapkan sebagai negara produsen? Fairness adalah kuncinya karena itu pendekatan yurisdiksi dan lanskap mesti menjadi basisnya.

Prinsip. Peraturan Uni Eropa didasarkan pada prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan dasar ilmiah serta metodologi yang kuat. Bagaimana prinsip-prinsip ini bisa diadopsi dalam regulasi Indonesia? Hal ini akan berkaitan dengan maraknya pasar sertifikasi untuk produk-produk yang diekspor dan pemenuhan kriteria keberlanjutan serta ketelusuran rantai pasok.

 

Oleh Diah Y. Suradiredja , Penasihat Senior Program SPOS Indonesia-Yayasan KEHATI

Artikel ini di publikasikan juga di Majalah Forest Digest, pada tanggal 10 Juli 2022 di rubrik Kabar Baru

Categories: