
-
EN
ID


Palangkaraya- Kelapa sawit diibaratkan sebagai dua sisi mata uang. Di satu sisi merupakan penopang perekonomian Indonesia, di sisi lain dianggap sebagai penyebab terbesar kerusakan ekosistem hutan di Indonesia. Menurut GAPKI, di tahun 2018 sumbangan devisa minyak kelapa sawit mencapai US$20,54 miliar atau setara Rp289 triliun. Namun, kerugian yang ditanggung pun dianggap tak ternilai. Ekspansi kelapa sawit ke dalam hutan dan sistem monokulturnya dianggap sebagai penyebab hilangnya keanekaragaman hayati, degradasi kualitas ekosistem hutan, dan bencana alam.
Penyelesaian terhadap permasalahan ini memerlukan strategi kebijakan yang komprehensif. Bukan hanya menghentikan ekspansi kebun kelapa sawit, tetapi juga bagaimana meminimalisir dampak dari ekspansi, baik terhadap lingkungan, sosial, maupun ekonomi masyarakat.
“Yayasan KEHATI bekerja sama dengan berbagai pihak yang berkepentingan untuk mencarikan solusi permasalahan sawit rakyat yang sudah terlanjur berada di kawasan hutan. Tujuannya yaitu untuk peningkatan keanekaragaman hayati dan pemanfaatan sawit dan komoditas lain secara berkelanjutan, salah satunya melalui strategi jangka benah (SJB),” ujar Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI Riki Frindos.
Strategi Jangka Benah (SJB) merupakan salah satu upaya yang ditawarkan oleh Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada bersama Yayasan KEHATI untuk menyelesaikan masalah kebun kelapa sawit rakyat monokultur yang “terlanjur” berada di dalam kawasan hutan. Jangka Benah adalah periode waktu yang dibutuhkan untuk mencapai struktur hutan dan fungsi ekosistem yang diinginkan sesuai tujuan pengelolaan. Dalam SJB, proses perbaikan struktur dan fungsi ekosistem hutan yang rusak akibat ekspansi kebun kelapa sawit monokultur dilakukan secara bertahap, dengan fokus perbaikan pada aspek ekologi, sosial dan ekonomi masyarakat.
Tahap pertama dalam sosialiasi SJB adalah merubah kebun kelapa sawit rakyat monokultur di dalam kawasan hutan menjadi kebun campur sawit dalam bentuk agroforestri. Jenis tanaman yang akan ditanam antara lain yaitu sengon, gaharu, meranti, dan jengkol. Tanaman-tanaman tersebut dipilih karena selain memberikan dampak ekologis, juga dapat memberikan dampak ekonomi kepada masyarakat.

Direktur Eksekutif KEHATI, Riki Frindos, ikut menanam bibit jengkol di lahan kelapa sawit dengan intervensi strategi jangka benah di Desa Karang Sari, Kab. Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.
Namun, agroforestri sawit tidak benar-benar berjalan mulus. Hasil identifikasi Fakultas Kehutanan UGM (2018) menunjukkan bahwa sebenarnya praktik penanaman sawit campur dengan tanaman kehutanan (agroforestri sawit) sudah dilakukan di berbagai wilayah di Indonesia, namun dalam skala terbatas. Alasannya, petani sawit masih mempunyai keraguan untuk mengadopsi agroforestri sawit terutama karena mempunyai asumsi bahwa mengelola agroforestri kelapa sawit lebih rumit dibandingkan dengan mengelola kebun kelapa sawit monokultur.
Asumsi lain yaitu bahwa penambahan jenis lain pada kebun kelapa sawit monokultur pada satu bidang lahan yang sama akan menyebabkan turunnya produksi tandan buah segar sawit. Petani juga berharap contoh konkrit agroforestri sawit yang dikelola secara baik sehingga memberikan keuntungan ekonomi yang lebih baik daripada praktik sawit monokultur. Selain kurangnya praktik agroforestri sawit, permasalahan lainnya dalam mengimplementasikan SJB di tingkat tapak adalah kelembagaan dan kurangnya dukungan kebijakan, baik dari pemerintah pusat maupun daerah.
Sosialisasi Strategi Jangka Benah (SJB)
Strategi jangka benah (SJB) dianggap sebagai salah satu solusi permasalahan sawit di dalam kawasan hutan. Untuk mensosialisasikan SJB, Yayasan KEHATI, Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah, dan Fakultas Kehutanan UGM mengadakan beberapa rangkaian kegiatan yaitu peluncuran (kick off) Strategi Jangka Benah (SJB) di Kalimantan Tengah dalam bentuk pembuatan demonstration plot (demplot) praktik agroforestry sawit.
Peluncuran mengawali kegiatan SJB untuk dikenalkan kepada para pihak tentang berbagai pola tanam agroforestri kelapa sawit yang dapat diadopsi oleh petani, terutama pemegang izin perhutanan sosial. Melalui kegiatan peluncuran juga diharapkan terkumpulnya dukungan dari para pihak dalam pengimplementasian SJB, khususnya di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah.
Strategi Jangka Benah (SJB) juga disosialisasikan melalui pembuatan demplot di tingkat tapak. Salah satu lokasi pembuatan demplot yaitu KPHP Mentaya Tengah – Seruyan Hilir atau yang sering disingkat KPHP Menteng-Selir, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Lokasi tersebut dipilih karena memiliki tutupan sawit monokultur di dalam kawasan cukup luas yang dikelola oleh masyarakat dan perusahaan yang berpotensi konflik. Selain itu, berdasarkan survey lapangan, wawancara dengan masyarakat desa, dan kelompok diskusi terarah menunjukkan kesiapan beberapa petani sawit di wilayah KPHP Menteng-Selir, terutama yang berada di Desa Karangsari untuk mengimplementasikan SJB.
“Strategi Jangka Benah (SJB) merupakan rangkaian pararel dari strategi perbaikan tata kelola sawit yang ada di Indonesia. SJB melalui agroforestri sawit (dengan komoditas tanaman sawit dipadukan dengan sengon, meranti dan jengkol) diharapkan dapat menghasilkan perbaikan struktur dan fungsi ekosistem hutan, dengan tetap mempertimbangkan ekonomi masyarakat,” tutur Direktur Program Strengthening Palm Oil Sustainability in Indonesia (SPOS Indonesia) dari Yayasan KEHATI, Irfan Bakhtiar. “Strategi ini diharapkan dapat membantu penanganan sawit di dalam kawasan hutan, dengan solusi yang win-win bagi ekologi dan ekonomi,” lanjut Irfan.